Zuhdi, Muhammad Harfin (2016) Parokialitas wetu telu: wajah sosial dialektika agama lokal di Lombok. Sanabil, Mataram. ISBN 978-602-72451-1-2

[img] Text (Buku)
Parokialitas Wetu Telu Wajah Sosial Dialektika Agama Lokal di Lombok.pdf - Published Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (12MB)
[img] Text (Cek Plagiasi)
PAROKIALITAS WETU TELU_compressed.pdf - Supplemental Material
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (21MB)

Abstract

Sebelum Islam, berbagai macam adat kuno dan kepercayaan lokal banyak dipraktekkan dan sangat menyatu dengan struktur lokal sosial masyarkat. Selanjutnya ketika Islam datang, ia berhadapan dengan nilai-nilai lama yang beberapa diantaranya mengandung unsur-unsur Hindu- Budha. Alih-alih membersihkan sepenuhnya anasir non- Islami, Islam juga diakomodasikan dan pada akhirnya disinkretisasikan ke dalam tradisi lokal. Keberadaan Islam abangan di Jawa, dan Islam Wetu Telu di Lombok merupakan bukti bahwa Islam dipraktekkan dengan kepercayaan lokal yang mengandung anasir non-Islami. Dengan demikian, terdapat dialektika dan pengaruh agama asli Indonesia terhadap agama agama pendatang merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri. Adat Islam Wetu Telu di Bayan memperlihatkan watak parokialitasnya yang sangat tipikal. Artinya, bahwa penganut Islam Wetu Telu diidentikkan dengan mereka yang dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat kuat berpegang kepada adat-istiadat leluhur. Dalam ajaran Wetu Telu, terdapat banyak nuansa Islam di dalamnya. Namun demikian, artikulasinya lebih dimaknakan dalam idiom adat. Di sini warna agama bercampur dengan adat, padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan agama. Pencampuran praktekpraktek agama ke dalam adat ini menyebabkan watak Wetu Telu menjadi sangat sinkretik. Islam Wetu Telu merupakan cermin dari pergulatan Islam lokal berhadapan dengan Islam Waktu Lima yang universal. Sebagaimana realitas yang terjadi di Bayan, Islam Wetu Telu [Islam lokal] yang dipeluk oleh penduduk asli Bayan dianggap sebagai “tata cara keagamaan yang berbeda” oleh kalangan Islam Waktu Lima, sebuah varian Islam universal yang dibawa oleh para pendatang dari daerah lain di Lombok. Hal ini lebih disebabkan karena dalam Islam Wetu Telu, yang paling menonjol dan sentral adalah pengetahuan tentang lokal, bukan pengetahuan tentang Islam sebagai rumusan ajaran yang datang dari negeri Arab. Akan tetapi juga bukan tidak menggunakan Islam sama sekali, seperti dalam syahadat, ritual do’a-do’a, tempat peribadatan masjid dan beberapa praktek ritual ibadah lainnya, merupakan introduksi keislaman mereka. Demikian mozaik dan warna Islam di Lombok yang pada batas-batas tertentu memiliki perbedaan tentang kepercayaan dan ritus keberagamaan yang dilakukan oleh dua varian Islam, yakni antara komunitas Islam Wetu Telu dan Waktu Lima. Bagi masyarakat Wetu Telu Bayan, agama adalah memelihara tradisi parokial lokal dan sebuah identitas yang berbeda dari “tradisi besar” yang diwakili oleh Waktu Lima, yang membawa tradisi ortodoksi dan universalitas Islam. Dalam persepsi mereka menjalankan ritual keberagamaan berarti mengikuti tradisi para leluhur yang dipraktekkan secara turun temuran. Singkatnya, identifikasi Wetu Telu yang lebih mendekati agama tradisional ini, dan Waktu Lima yang lebih mendekati agama samawi bukanlah merupakan pemisahan total. Ada muatan-muatan nilai yang dipunyai Waktu Lima yang juga dianut kalangan Wetu Telu. Penggunaan do’a-do’a berbahasa Arab yang diambil dari al-Qur’an, para Kyai yang menjalankan peran sebagai imam, dan masjid merupakan anasir penting keprcayaan Wetu Telu yang diambil dari Islam universal. Dimasukkannya ayat-ayat al-Qur’an dalam praktek-praktek keagamaan Wetu Telu merupakan kualitas esoterik yang, bagaimana pun juga, tidak mengubah secara substansial bentuk-bentuk animistik dan antropomorpismenya. Akan tetapijustru menyumbang lebih jauh bagi ideologi-ideologi asli yang sudah ada sebelumnya. Akibatnya, tidak ada batas jelas yang memisahkan ide-ide monoteistik Islam [Tauhid] dari animisme dan antropomorpisme yang tertanam dalam parokialitas adat mereka. Berdasarkan elaborasi ini, maka parokialitas adat Islam Wetu Telu dalam hal ini dapat diletakkan dalam kerangka Islam kultural, yaitu proses penghargaan pada tafsir lokal terhadap ajaran Islam dalam manifestasi kehidupan. Sebagai sumber bagi tindakan, nilai-nilai dalam tradisi atau agama bukanlah nilai yang murni, namun selalu diuji dalam kemampuannya menghadapi persoalan kehidupan. Dalam pengujian itu nilai-nilai tradisi dapat terus berubah dan berdialektika secara elegan, dinamis dan sinergis.

Item Type: Book
Uncontrolled Keywords: budaya sasak; pulau lombok; wetu telu
Subjects: 20 LANGUAGE, COMMUNICATION AND CULTURE > 2002 Cultural Studies > 200207 Sasak, Samawa, or Mbojo Cultural Studies
Divisions: Fakultas Syariah > Jurusan Ilmu Falaq
Depositing User: mrs Nuraeni S.IPi
Date Deposited: 13 Feb 2023 07:33
Last Modified: 13 Feb 2023 07:33
URI: http://repository.uinmataram.ac.id/id/eprint/2294

Actions (login required)

View Item View Item