Wahid, Abdul (2020) Dua suara Tuhan: Pergumulan etos agama & budaya di Ruang Publik. Alamtara Institute, Mataram. ISBN 978-602-9281-19-4

[img] Text (Buku)
Dua Suara Tuhan.pdf - Published Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (1MB)
[img] Text (Peer Review Penulis)
review dua suara.pdf - Supplemental Material
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (584kB)
[img] Text (Peer review sebagai Editor)
Peer Review dua suara Tuhan.pdf - Supplemental Material
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (642kB)
[img] Text (Editor)
EDITOR BUKU DUA SUARA TUHAN.pdf - Supplemental Material
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (306kB)

Abstract

INDONESIA Tulisan-tulisan yang lahir dengan latar belakang tersebut tidak panjang seperti laporan penelitian atau ar- tikel jurnal yang ditulis untuk tujuan akademik. Ketika menulisnya saya menempatkan diri sebagai seorang kol- umnis, meskipun istilah itu sudah tak kedengaran lagi dewasa ini. Juga saya andaikan diri sebagai intelektual publik yang menulis untuk dibaca oleh kalangan lebih luas dari sekedar komunitas akademik, dengan harapan memberikan impak sosial bagi pengembangan kognisi dan kesadaran umum. Beberapa di antaranya saya tulis dalam kapasitas sebagai “muslim scholar” – yang lagi-la- gi saya andaikan “tercerahkan” – untuk berbagi pencer- ahan kepada pembaca religius khusus untuk isu-isu atau teks-teks agama tertentu. Sebagian lagi saya tulis sebagai soliloqui dari seorang soliter untuk disimpan dalam file pribadi. Tulisan-tulisan saya yang tersiar di berbagai me- dia ternyata mendapat tanggapan beragam dari pem- baca, baik pembaca sambil lalu maupun pembaca se- tia dan pembaca “pilih tanding”. Ada yang merespon dengan “like”, komentar-komentar pendek “mantap,” “dahsyat,” “dahsyatullah,” dan sejenisnya. Ada juga yang memberi komentar yang memicu diskusi lebih lanjut sehingga tulisan-tulisan yang tadinya hanya un- tuk media sosial menjadi kolom yang layak muat di me- dia mainstream. Ada yang sekedar meminta refresh atau penjelasan atas konsep-konsep yang saya utarakan da- lam tulisan. Kritik-kritik tajam juga seringkali muncul dari pembaca-pembaca kritis – sejujurnya, tulisan-tu- lisan sebagian besar saya buat untuk dialamatkan kepada kalangan ini guna memancing terjadinya dialektika dan eksplorasi khazanah intelektual yang terpendam. Berbagai tanggapan berupa apresiasi, kritik, dan penasaran atas tulisan-tulisan saya lebih lanjut telah menuntut saya untuk meninjau ulang tulisan-tulisan yang tadinya ditulis dan dilontarkan secara premature, untuk dipoles menjadi mature (dewasa). Paling tidak rekondisi itu dilakukan supaya layak dibaca dalam ban- yak kondisi oleh lebih banyak lagi kalangan. Tulisan-tu- lisan yang bernada ilmiah di-rearansemen menjadi il- miah populer (itulah mengapa buku ini tidak memiliki jenggot catatan kaki yang penuh referensi), sementara yang “punky” di-rebonding sedemikian rupa sehingga membentuk postur tulisan yang rapijali. Proses-proses itu memakan waktu dan intensitas yang lebih dari sekedar melahirkan tulisan demi tulisan. Namun dari proses itu, tahulah saya bahwa tumpu- kan-tumpukan tulisan yang telah saya buat punya clus- ter dan style tersendiri. Ternyata, tema-tema budaya dan agama begitu dominan. Ini bukan hal yang mengaget- kan sebenarnya, karena minat akademik saya memang di kedua bidang yang saling terhubung satu sama lain itu. Tetapi, selama ini saya tidak menulis subjek agama unsich (karena saya bukan ulama) dan budaya murni (karena saya bukan budayawan) – saya lebih cocok pengkaji “agama-budaya” atau “budaya-agama”. Yang saya hasilkan adalah tulisan soal budaya dalam beraga- ma atau agama dalam bingkai budaya. Berkah waktu untuk lebih banyak berkontemplasi ini didukung oleh – dan mendukung – konsistensi se- mangat menulis. Dengan semangat itulah beberapa cel- ah atau kesenjangan wacana antara satu tulisan dengan tulisan lain bisa di”dempul” oleh tulisan baru. Maka jadilah satu kesatuan tematik yang membentuk postur yang rancak. Dengan itu, konfidensi pun tumbuh, yaitu rasa berbesar hati untuk berbagi gagasan dengan publik, tanpa takut dicemooh, atau khawatir tidak bisa mem- beri manfaat yang banyak bagi pembaca. Jika perasaan demikian adalah penyakit, maka itulah yang menggero- goti sendi para intelektual publik, sehingga mereka dan karyanya mengalami “self lockdown” karena ketakutan- nya sendiri. Buku ini mengambil tema sentral kait-kelindan agama dan budaya. Wacana ini mengandaikan agama terbingkai oleh budaya dan budaya diwarnai oleh aga- ma. Kita tidak tahu kapan kedua dimensi ini bertemu dalam suatu aras, tetapi kita mendapatinya sudah men- jadi bagian dari praktik beragama atau kultural di se- kitar kita. Karena demikian, sulit memilah mana yang sakral dan mana yang profan dari praktik-praktik itu. Maka, kita tidak perlu bersikap kaku di dalam beragama, karena itu hanya akan menghalangi agama bekerja untuk kemaslahatan umat manusia. Sebaliknya, gaya beragama yang lentur akan membuat umat beragama bisa memberi dan menerima hikmah dari beragama. Di balik realitas kait-kelindan tiada terkira antara dua dimensi itu, terdapat kenyataan lain, yakni cara orang beragama menyikapi yang profan sebagai sakral dan yang sakral sebagai profan. Yang menjadi masalah, ada pihak – dan itu banyak sekali – dari orang beragama yang menempatkan diri sebagai pengukur kadar keag- amaan. Bagi mereka, agama ya agama, dunia ya dunia, dan orang yang orientasi beragamanya untuk urusan akhirat atau ilahiah sajalah yang beragama secara sejati. Padahal sejatinya agama itu justru adalah problem bumi yg menggedor ke langit lalu direspon oleh langit dengan menurunkan kalam-kalamnya. Itulah mengapa sejarah dunia adalah sejarah agama-agama. Pandangan ini berpengaruh pada bentuk spiritualitas dan tindakan sosial penganutnya. Demikian juga pandangan seba- liknya. Di balik dua pandangan berseberangan itulah buku ini coba damaikan dengan lebih mengajukan spiritualitas rasional sebagai cara beragama, betapapun penganut agama tidak (mampu) menjelaskannya. Konstruksi wacana seperti ini bukan baru sama se- kali, tetapi selalu menjadi kontestasi di tengah kehidu- pan umat. Maka cerita-cerita kecil yg ada di masyarakat yang mencerminkan silang sengkarut dua dimensi ag- ama itu, saya angkat dan ulas kembali. Misalnya cerita tentang “kehadiran Tuhan” dengan “suara”-Nya yang ditangkap oleh umat dengan cara tertentu, saya tampil- kan dalam tulisan berjudul “Dua Suara Tuhan: Beda Masjid, Beda Gaya Beragama” – suatu refleksi pen- galaman personal saya ketika mengikuti ritual di dua masjid di kawasan Kuningan Jakarta. Masing-masing umat di kedua masjid itu memiliki cara menyerap dan menerjemahkan ajaran Tuhan melalui gaya beribadah masing-masing. Mereka yang bergabung dengan masjid yang satu dan tidak dengan masjid yang lain sesung- guhnya punya latar sosial-historis-budaya, juga teologis.

Item Type: Book
Uncontrolled Keywords: spiral spiritual; ruang otoritas; percik keilmuan; lokalitas
Subjects: 20 LANGUAGE, COMMUNICATION AND CULTURE > 2002 Cultural Studies > 200299 Cultural Studies not elsewhere classified
22 PHILOSOPHY AND RELIGIOUS STUDIES > 2204 Religion and Religious Studies > 220403 Islamic Studies
Divisions: Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama > Jurusan Pemikiran Politik Islam
Depositing User: mrs Nuraeni S.IPi
Date Deposited: 22 Jan 2021 12:51
Last Modified: 03 Mar 2021 04:30
URI: http://repository.uinmataram.ac.id/id/eprint/48

Actions (login required)

View Item View Item