Wardatun, Atun Revivalisme Islam dan pelembagaan syariah. Pustaka Masyarakat Setara.

[img] Text (Buku)
(6) Monograf Revivalisme Islam dan Pelembagaan Syariah_SETARA Institute (1) (1).pdf - Published Version
Available under License Creative Commons Attribution Non-commercial No Derivatives.

Download (1MB)

Abstract

INDONESIA Laporan tentang Revivalisme Islam dan Pelembagaan Syariah yang digambarkan tiga artikel yang mengulas kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di dari Aceh, Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat menggambarkan bahwa pelembagaan syariah Islam menjadi hukum positif di tingkat lokal merupakan artikulasi poltik revivalis yang ditopang oleh penyelenggara pemerintahan daerah yang tidak cakap mengelola kemajemukan. Selain itu, imajinasi kejayaan masa lalu dalam panji-panji Islam yang dikembangkan sebagai narasi pengantar gagasan-gagasan revivalis telah membuat gagasan pelembagaan perda-perda syariah mendapat justifikasi sosiologis warga. Sebagai gagasan yang bertolak dari pandangan keagamaan ekslusif, perda-perda syariah jelas menjadi tantangan bagi jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan yang mensyaratkan ideologi kemajemukan tumbuh subur dan berkembang di suatu daerah. Membaca konteks Aceh dalam satu dekade ini, jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan sulit berkembang, meski ada hal-hal yang bisa dilakukan oleh pihak-pihak untuk membangunnya. Akan tetapi sentimen narasi pelemahan Islam yang dieksploitasi oleh pemimpin sosial dan beberapa pemimpin politik di Aceh, telah memperkuat kecurigaan warga dan sikap antipati terhadap pembaruan. Dalam kehidupan sosial-keagamaan, kelompok revivalis Aceh sedang menikmati previlege dari otonomi asimetris yang diberikan oleh pemerintah pusat sekaligus menjadikannya sebagai bargaining dengan pemerintah pusat, baik secara diamdiam maupun secara terbuka. Harapan bagi perubahan sosial-politik di Aceh terletak pada generasi muda dan kelompok kritis di sektor civil society organization dan sebagian intelektual kampus yang masih terbuka. Pembaruan Aceh menghadapi tantangan dari sikap permisif para pengkaji Aceh pada penerapan syariah Islam. Pengutamaan pembenaran sosio-historik dan otonomi asimetris justru telah menutup ruangruang pembaruan. Dalam konstruksi Aceh, otonomi asimetris tetap terikat pada jaminan konstitusional yang termaktub dalam UUD Negara RI 1945. Dengan kata lain, otonomi asimetris bukanlah jalan hegemonik kelompok mayoritas terhadap minoritas agama. Hampir sama dengan Aceh, tantangan terberat advokasi atau sekedar promosi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Sumatera Barat berpusat pada hegemoni narasi kekhasan Sumatera Barat yang secara sosiologis memiliki sejarah keislaman kuat. Favoritisme yang meluas di banyak sektor kemudian berimplikasi padan rendahnya jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan di Sumatera Barat. Salah satu isu yang paling sentral adalah menyangkut hak-hak yang berhubungan dengan izin pendirian rumah/tempat ibadah. Persoalan penolakan rumah/tempat ibadah secara resmi pada banyak kabupaten/kota disebabkan oleh persoalan struktural maupun kultural, yakni keterbatasan regulasi yang menjamin dan lemahnya kepemimpinan politik pemerintah daerah yang tidak berani mengambil risiko, meski untuk menjalankan mandat konstitusional. 173 Klaim identitas islami dan adagium “Adat basandi syara’, syara’basandi kitabullah”, telah membuat masyarakat permisif terhadap pengabaian jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan. Pemanfaatan jaminan konstitusional untuk mengadopsi kekhususan daerah sebagai salah satu tema yang bisa diatur oleh kepala daerah telah digunakan secara eksploitatif yang justru ditujukan untuk memetik insentif politik elektoral. Episode UU 22 Tahun 1999, UU 32 Tahun 2014, dan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tidak pernah merumuskan secara tegas batasan atau margin of appreciation sebuah norma keagamaan bisa diadopsi menjadi hukum positif di suatu daerah. Akibatnya, fakta 421 kebijakan daerah diskriminatif (Komnas Perempuan, 2016) dan fakta 145 produk hukum daerah intoleran (SETARA Institute, 2019) tidak pernah memperoleh penanganan memadai dari negara. Pembiaran ini secara tidak langsung merupakan bentuk rekognisi politik atas tata kelola pemerintahan daerah yang mengancam kemajemukan. Dalam situasi yang demikian, perda-perda syariah terus menerus menjadi instrumen pelembagaan diskriminasi terhadap warga negara. Bukan hanya menyasar kelompok yang berbeda agama, siswa sekolah, perempuan dan juga aparatur sipil negara yang memiliki pandangan keagamaan berbeda dari mainstream yang hegemonik menjadi korban diskriminasi. Menguatnya politik identitas, hampir terjadi di semua wilayah riset sebagai dampak lanjutan dari Pilkada DKI Jakarta (2017), Pilkada Serentak (2018) dan Pipres (2019). Di tiga provinsi yang menjadi area riset, politik identitas tampak sangat kuat, dan mengunggulkan suara Prabowo-Sandi yang diasumsikan sebagai kandidat presiden/wakil presiden yang menjanjikan akomodasi politik kelompok revivalis. Narasi antikemajemukan, anti-China, PKI, dan lain sebagianya berkumandang di mimbar-mimbar keagamaan. Melihat perkembangan konservatisme yang sistematis dan sudah mengakar di NTB, memang diperlukan kerja cerdas dari berbagai pihak. Tetapi, sebagaimana yang dikatakan oleh Bruinessen, konservatisme ini bisa berkembang jika pemerintah tidak kuat dan tegas menyikapi munculnya dan tumbuhnya aliranaliran tersebut. Di tingkat lokal, gaya kepemimpinan kultural yang dikembangkan oleh Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi – sering dipanggil TGB (Tuan Guru Bajang) pada periode sebelumnya, cukup mewarnai dinamika gerakan keagamaan, khususnya di kalangan masyarakat Lombok. TGB yang berasal dari kalangan Nahdlatul Wathan (NW) yang berhaluan Aswaja dapat memaksimalkan posisi politiknya untuk memengaruhi perkembangan keagamaan. Tapi pada TGB juga favoritisme menyebarluas di banyak sektor pelayanan. Berharap perubahan pada NU, NW dan juga Muhammadiyah memang dapat berkontribusi pada moderasi pandangan keagamaan. Tetapi mengingat virus intoleransi yang dipromosikan kelomok revivalis, tidak cukup hanya mengandalkan organisasi-organisasi keagamaan ini. Negara harus memiliki skema holistik menyikapi setidaknya pada isu otonomi asimetris, keberadaan perdaperda intoleran-diskriminatif, dan penguatan narasi kebinekaan guna memperkuat ketahanan sosial melalui institusi-institusi pendidikan. 174 Paralel dengan langkah non-judicial ini, aparat penegak hukum mesti melakukan tindakan berkelanjutan terhadap tindakan yang secara nyata merupakan tindakan pelanggaran hukum. Karena pada wilayah ini, menindak artikulasi revivalisme dalam bentuk tindak pidana memperoleh justifikasi hukum nasional. Sementara untuk pencegahan meluasnya virus intoleransi, tetap menjadi domain pemerintah dan masyarakat sipil untuk berkontes sekaligus melakukan mainstreaming tata kelola yang inklusif untuk memperkuat toleransi.

Item Type: Book
Subjects: 22 PHILOSOPHY AND RELIGIOUS STUDIES > 2204 Religion and Religious Studies > 220403 Islamic Studies
Divisions: Program Pascasarjana > Program Studi Magister Hukum Keluarga Islam
Depositing User: mrs Nuraeni S.IPi
Date Deposited: 16 Oct 2023 07:10
Last Modified: 16 Oct 2023 07:10
URI: http://repository.uinmataram.ac.id/id/eprint/3396

Actions (login required)

View Item View Item